Wednesday, November 27, 2013

Siapakah Sang ‘Imperialis’ Budaya?


Resensi Buku (Kompas, 24 November 2013, hlm 19)

Judul Buku: Countering MTV Influence in Indonesia and Malaysia
Penulis: Kalinga Seneviratne
Penerbit: ISEAS
Cetakan: I, 2012
Tebal: xxiii + 278 halaman
ISBN: 978-981-4345-23-1

Siapakah Sang ‘Imperialis’ Budaya?

OLEH INAYA RAKHMANI

Bagi warga perkotaan, hanya dengan melihat logo M kuning melengkung mungkin akan cepat mengasosiasikannya dengan gerai cepat saji McDonald’s. Jika melihat celana jins, akan teringat Levi’s. Globalisasi ekonomi telah mengantarkan produk-produk tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari masyarakat urban di seluruh dunia.

Asosiasi logo dengan merk ini hanyalah pucuk gunung es dari struktur ekonomi global yang menopang kuasa Amerika Serikat atas negara-negara berkembang. Hal ini diyakini telah mencerabut penduduk negara konsumen dari akar budayanya. Beginilah lebih kurang gagasan imperialisme budaya yang didengungkan sejak tahun 1990-an.

Namun, buku Countering MTV Influence in Indonesia and memberikan bahan untuk mempertimbangkan kembali imperialisme budaya dengan mempelajari pengaruh MTV di Malaysia dan Indonesia. Seneviratne, penulis buku ini, menelusurinya dalam konteks musik irama nasyid (Malaysia) dan dangdut (Indonesia) yang justru naik pamor dari musik rural ke musik “bangsa” yang menurut penulis, semua terjadi karena telah beradaptasi dengan aspek-aspek MTV.

Sebelum menjelaskan tentang strategi bisnis MTV dan implikasinya terhadap budaya lokal, Seneviratne memaparkan terlebih dahulu eksistensi serta dinamika musik dangdut dan nasyid di negaranya masing-masing. Musik dangdut, misalnya, pernah berguna sebagai kendaraan politik demi menjangkau masyarakat pada akhir 1980-an (hlm 140). Pada 1995, Menteri Sekretaris Negara Moerdiono menyatakan bahwa dangdut amat “Indonesia” dan bahwa, seperti negara ini, dangdut adalah dari, oleh, dan untuk rakyat. Dangdut, yang tadinya dimainkan dari panggung ke panggung di daerah rural Jawa, disiarkan pula di TVRI. Di waktu yang sama, pemerintah Malaysia mempromosikan musik nasyid yang bersifat “Islami” dan juga Melayu, dengan mendukung pengorganisasian kontes nasyid di tingkat nasional serta menyiarkannya ke seluruh negara (hlm 55).

Setelah memaparkan hal ini, Seneviratne menjelaskan strategi MTV Asia ketika berekspansi dalam region Asia. MTV Asia bermaksud menjaring aspirasi kelas menengah muda untuk menjadi “keren dan modern” sekaligus menghindari risiko kegagalan bisnis dengan mengakui pijakan budaya mereka. Oleh karena itu dibuatlah MTV Syok (Malaysia) dan MTV Salam Dangdut (Indonesia).

Mempribumikan globalisasi

Keunikan dari kedua genre musik ini adalah bahwa di dalam liriknya, tidak terbaca adanya naratif dominan (hlm 55) yang mempermudah atribusi pesan-pesan lain. Karena itu, nasyid dan dangdut mampu beradaptasi dengan realitas sosial baru yang kini lebih melibatkan motivasi komersial media ketimbang kepentingan politik rezim tertentu.

Sebagai konsekuensi, ruang-ruang budaya baru yang dibentuk oleh MTV Asia justru menaikkan pamor musik yang kerap diasosiasikan dengan masyarakat kelas menengah ke bawah ini (hlm 78-79). Tentu hal ini terjadi berbarengan dengan semakin komersialnya musik nasyid dan dangdut melalui medium televisi masing-masing negara, sehingga sulit membuktikan klaim MTV Asia bahwa mereka adalah penentu dalam fenomena ini. Namun yang perlu digarisbawahi, saat MTV Asia memperoleh legitimasi bahwa merekalah yang mampu menentukan siapa yang “keren dan modern”, musik nasyid dan dangdut semakin relevan sebagai budaya populer karena kini juga memiliki nilai komersial. Hal ini memunculkan pertanyaan penting yang merupakan fokus studi Seneviratne: mempelajari dampak globalisasi dalam bentuk terpaan MTV di Indonesia dan Malaysia serta memikirkan ulang apakah benar imperialisme budaya sedang terjadi.

Kekhawatiran terbesar dari para pemikir imperialisme budaya dan mereka yang berjuang melawan pengaruh asing adalah bahwa masyarakat, terutama orang muda, tercerabut dari akar budaya lokalnya. Dalam konteks musik dangdut, melalui kasus goyang pinggul penyanyi dangdut Inul Daratista yang diprotes Rhoma Irama karena telah mencemari citra dangdut Islami yang ia bangun (hlm 190-208), Seneviratne mengajukan beberapa pertanyaan kritis. Bukankah goyang pinggul Inul yang menyertai musik dangdutnya bisa ditelusuri akarnya dalam tarian tradisional Jawa (hlm 234)? Bukankah popularitas dangdut yang terus meningkat membuktikan kalau justru budaya lokal menggunakan format modern, yang juga “format MTV”, untuk berkembang?

Ketimbang mengaitkan fenomena ini dengan “Westernisasi”, Seneviratne mengaitkannya dengan “modernisasi” (hlm 235). Tarian erotis Inul menuai protes bukan karena merupakan produk asing, tapi karena tidak sejalan dengan moralitas Islam masyarakat dominan yang juga merupakan alasan kenapa musik irama Malaysia dan nasyid begitu populer di negeri tetangga. Dengan argumen ini, penulis memosisikan baik Barat maupun Timur Tengah sebagai imperialis budaya karena budaya tradisional Jawa bagi penulis lebih cocok disebut sebagai akar budaya Indonesia. Ia menyebutnya sebagai “mempribumikan globalisasi” (indigenizing globalization), saat produk budaya lokal dikemas dengan cara modern, yang tidak hanya menghasilkan hibrida ekspresi budaya global dan lokal, tapi juga menjadikannya produk pribumi (hlm 248).

Satu hal yang mengganggu saya akan argumen Seneviratne adalah bahwa meskipun penulis meninjau konteks sejarah dan pengaruh budaya India, Cina, dan Arab dalam musik irama Malaysia, nasyid, dan dangdut, ia tidak berargumen bahwa percampuran ini juga adalah hasil globalisasi. Oleh karena itu, kesimpulan bahwa musik lokal adalah hasil dari “mempribumikan globalisasi” bagi saya kurang pas untuk menjelaskan kompleksitas pertarungan kepentingan yang bermanifestasi melalui ekspresi kebudayaan. Seluruh ekspresi kebudayaan yang tercatat dalam sejarah, termasuk apa yang tercatat dan apa yang tidak, adalah hasil kemenangan satu kelompok atas kelompok lainnya. Di sini, termasuk budaya tradisional Jawa yang disebut penulis sebagai akar budaya Indonesia. Oleh karena itu, buku Seneviratne membuka peluang bagi pemikiran baru yang mempertanyakan apa itu “akar budaya” Indonesia, apa manfaatnya, dan siapa yang menarik manfaat darinya.

INAYA RAKHMANI
Peneliti Kajian Media
Departemen Ilmu Komunikasi,
Universitas Indonesia


Saturday, July 13, 2013

A Pause



Yesterday was my son's, Malik, Kindergarten orientation day. As the teachers were presenting the semester outline to the parents, the children who were there started doing their own thing (like five year olds usually do). Malik's class mate Aisha (pseudonym) began drawing.

She had really clear strokes and was very detailed. She described to me that she was at her house. "Look at the roof!" she pointed to the lines of stacked roof tiles she drew one by one. Malik asked for a paper and pen as well. They began drawing next to each other.



Malik's drawings, as he often does at home, were explosive. There's a scenario that involves explosions and fire and fire engines spraying water to tend the damage. As usual, his hands moved as fast as his words. Aisha began looking at his drawing and asking questions.

"What's that?" "Why?" "How come?"

They talked to each other quite seriously and inaudibly, then Malik gave her the pen, "Would you like to draw?". With Aisha's detailed strokes on the paper, Malik's explosive drawing turned into something else. She drew a flower and a person and fishes in a pond. She returned the pen, Malik took it, they talked about what to draw next. They exchanged the pen for quite a while, equally, without guidance.

I was taken aback as I witnessed how these two young people collaborated so nicely. Neither was dominant in deciding what the drawing would be about, neither raised their voices, neither tried to outdo the other. They were just enjoying creating something else.



You would think I was romanticising children, I'm not. I have also witnessed children, including my own son, try to manipulate each other into lending them a toy or playing something they prefer. They are just as capable of complex emotions as adults. But this one moment, I was lucky enough to see something else.

They weren't guided by 'what one is supposed to do' because it's 'the right thing', 'berpahala', or anything moral. It simply felt natural to them. One thing that I rarely see in adults (and increasingly so of late).

There's usually an interest, an assessment, some variation of mild to extreme power play that would make us naive if we don't at least try to understand. And, if we're lucky enough, remember that understanding comes with subjectivity.

So I would just like to cherish this, and share, how these moments surround us. And if we walk slower and pause, seemingly mundane things can take our breath away. Kind of reminds us that it is the mundane, at times, that matter. The meaning we seek so rigorously outside, is not so far out of reach.

Saturday, March 02, 2013

Publikasi Ilmiah dan Solusi Jangka Pendek

A repost of my article in Kompas newspaper, 25 February 2013 on why Indonesian scholars are not writing; available online here.

Karena kurang optimalnya Surat Edaran Ditjen Dikti No 152/E/T/2012 yang mewajibkan doktor memublikasikan karya ilmiah, tahun ini kewajiban tersebut akan diperketat.

Strategi yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) secara teknis juga menarik. Demi meningkatkan kualitas jurnal ilmiah di Indonesia, Januari lalu, Dikti—bersama Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat ITB— meluncurkan Indeks Sitasi Indonesia. Ke depan, diharapkan laman tersebut bisa menjadi basis data abstrak dan sitasi dalam skala nasional.

Membangun jejaring yang mampu mengakomodasi publikasi ilmiah dosen dan peneliti dalam negeri yang terpencar tentu merupakan langkah baik. Namun, di saat bersamaan, sebagai redaktur pelaksana jurnal ilmiah nasional, saya merasakan sendiri bagaimana budaya menulis ilmiah—yang didukung kajian literatur yang serius, data yang kuat, dan analisis yang mampu mengungkap bagaimana temuan akan bermanfaat bagi publik yang lebih luas—amat langka.

Ditjen Dikti dan ITB sebagai pelaksana teknis mengambil langkah progresif menggunakan perkembangan teknologi informasi untuk mengatasi permasalahan minimnya publikasi ilmiah dalam negeri. Tetapi, jika publikasi ilmiah yang berkualitas itu langka, apakah peningkatan jumlah sitasi artikel akan menghasilkan peningkatan kualitas keilmuannya?

Ketimbang mengungkap permasalahan struktural secara normatif, saya ingin menyampaikan bahwa minimnya publikasi ilmiah ini adalah kelalaian bersama. Permasalahan struktural ini dengan reflektif dijelaskan oleh para pengajar di Universitas Indonesia (Membangun di Atas Puing Integritas, 2012).

Permasalahan ekonomi-politik sistem pendidikan tinggi dalam negeri juga sudah menjadi pembahasan sejak 1990-an. Masalah ini makin kompleks sekitar tahun 2000-an. Dengan status Badan Hukum Milik Negara, di mana otonomi kampus dari segi keuangan ternyata tidak berkorelasi dengan peningkatan mutu pendidikan.

Berbicara dalam konteks perguruan tinggi negeri (PTN) tempat saya bekerja, banyak dosen yang tidak sempat menulis dan berkarya karena dibebankan enam mata kuliah (18 SKS) per semester (setara dengan 30-35 jam kerja per minggu) di luar memegang jabatan struktural (setara dengan posisi manajer dalam perusahaan, juga 30-35 jam kerja per minggu). Hal ini disebabkan perubahan status PTN yang memiliki implikasi sistem keuangan yang mempersulit para pemimpin departemen memproyeksikan berapa jumlah dosen baru yang perlu direkrut untuk mengatasi ketimpangan rasio dosen-mahasiswa.

Karena itu, yang diambil adalah solusi-solusi jangka pendek yang amat pragmatis. Sebutlah pemberian beban kerja berlebihan atau memberikan mata kuliah tidak sesuai keahlian akibat kurangnya dosen tetap.

Perihal peningkatan kualitas akademik, Dikti sebetulnya sudah berupaya mengembangkan kapasitas dosen dengan memberikan beasiswa doktoral untuk menempuh studi di luar negeri. Namun, karena permasalahan struktural tadi belum diatasi, ketika kembali ke Tanah Air para dosen ini kembali diberi beban mengajar yang berat, yang mempersulit mereka untuk berkarya.

Tidak ada peningkatan jumlah karya ilmiah sejak beasiswa tersebut tersedia karena permasalahan kurangnya sumber daya pengajar belum diatasi. Tak heran bila Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara-negara dalam regional yang sama (Evers, 2003). Sebagai ilustrasi, Singapura memiliki 94 jurnal internasional dan Malaysia memiliki 45 jurnal internasional, sementara Indonesia hanya memiliki 12 jurnal internasional.


Memikirkan solusi

Dengan mempertimbangkan kenyataan hambatan struktural, maka inisiatif Dikti melalui Indeks Sitasi Indonesia tidak akan membuahkan hasil signifikan. Begitu pula langkah Dikti membatasi beasiswa doktoral khusus untuk program studi yang menghasilkan publikasi di jurnal internasional. Permasalahannya, setiap program studi tidak mampu membangun lingkungan akademik yang sehat sehingga menghambat pengembangan kapasitas dosen dan penelitinya.

Oleh karena itu, jika obyektif, untuk meningkatkan kualitas penelitian dan publikasi ilmiah, yang pertama harus dilakukan bukan hanya menelurkan kebijakan dari atas, tapi juga identifikasi masalah di bawah: memahami akarnya dari realitas keseharian para pengajar.

Sebagai ilustrasi, ada satu jurnal internasional—yang tak jelas peninjau dan asal-usulnya—yang menawari dosen ”negara berkembang” memublikasi karyanya dengan biaya 1.000 dollar AS dengan mengirim surat elektronik secara serentak. Solusi laissez-faire macam ini muncul karena pihak-pihak tertentu mengidentifikasi adanya ”permintaan” yang tidak dibarengi kemampuan pihak yang terlibat untuk memenuhinya. Jika Dikti tak segera mengisi ruang vakum tersebut, kemungkinan solusi macam inilah yang akan diambil, seperti dilakukan begitu banyak sektor lain di negara kita.

Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah memberikan pelatihan kepada staf pengajar untuk membangun budaya menulis akademik. Namun, karena peneliti senior dalam negeri yang memiliki publikasi yang diakui kolega internasional amat langka, akan kurang efektif jika pelatihan tersebut dijalankan secara in-house di tiap universitas. Konsekuensinya, pelatihan ini harus melibatkan akademisi Indonesia yang juga pegawai di sejumlah institusi pendidikan di negara seperti Australia, Belanda, dan Jepang, yang memiliki basis kajian Indonesia yang kuat.

Program Scheme for Academic Mobility 2013 (SAME) yang mendanai kerja sama antara institusi pendidikan dalam dan luar negeri bisa mengakomodasi pelatihan semacam ini. Jadi, sebetulnya pelatihan bisa direalisasikan dan dana sudah dialokasikan Dikti. Masalahnya, apakah setiap pihak yang terlibat mampu secara independen berjejaring untuk jadi bagian dari solusi.