A repost of my article in Kompas newspaper, 25 February 2013 on why Indonesian scholars are not writing; available online here.
Karena kurang optimalnya Surat Edaran Ditjen Dikti No 152/E/T/2012 yang mewajibkan doktor memublikasikan karya ilmiah, tahun ini kewajiban tersebut akan diperketat.
Strategi yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) secara teknis juga menarik. Demi meningkatkan kualitas jurnal ilmiah di Indonesia, Januari lalu, Dikti—bersama Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat ITB— meluncurkan Indeks Sitasi Indonesia. Ke depan, diharapkan laman tersebut bisa menjadi basis data abstrak dan sitasi dalam skala nasional.
Membangun jejaring yang mampu mengakomodasi publikasi ilmiah dosen dan peneliti dalam negeri yang terpencar tentu merupakan langkah baik. Namun, di saat bersamaan, sebagai redaktur pelaksana jurnal ilmiah nasional, saya merasakan sendiri bagaimana budaya menulis ilmiah—yang didukung kajian literatur yang serius, data yang kuat, dan analisis yang mampu mengungkap bagaimana temuan akan bermanfaat bagi publik yang lebih luas—amat langka.
Ditjen Dikti dan ITB sebagai pelaksana teknis mengambil langkah progresif menggunakan perkembangan teknologi informasi untuk mengatasi permasalahan minimnya publikasi ilmiah dalam negeri. Tetapi, jika publikasi ilmiah yang berkualitas itu langka, apakah peningkatan jumlah sitasi artikel akan menghasilkan peningkatan kualitas keilmuannya?
Ketimbang mengungkap permasalahan struktural secara normatif, saya ingin menyampaikan bahwa minimnya publikasi ilmiah ini adalah kelalaian bersama. Permasalahan struktural ini dengan reflektif dijelaskan oleh para pengajar di Universitas Indonesia (Membangun di Atas Puing Integritas, 2012).
Permasalahan ekonomi-politik sistem pendidikan tinggi dalam negeri juga sudah menjadi pembahasan sejak 1990-an. Masalah ini makin kompleks sekitar tahun 2000-an. Dengan status Badan Hukum Milik Negara, di mana otonomi kampus dari segi keuangan ternyata tidak berkorelasi dengan peningkatan mutu pendidikan.
Berbicara dalam konteks perguruan tinggi negeri (PTN) tempat saya bekerja, banyak dosen yang tidak sempat menulis dan berkarya karena dibebankan enam mata kuliah (18 SKS) per semester (setara dengan 30-35 jam kerja per minggu) di luar memegang jabatan struktural (setara dengan posisi manajer dalam perusahaan, juga 30-35 jam kerja per minggu). Hal ini disebabkan perubahan status PTN yang memiliki implikasi sistem keuangan yang mempersulit para pemimpin departemen memproyeksikan berapa jumlah dosen baru yang perlu direkrut untuk mengatasi ketimpangan rasio dosen-mahasiswa.
Karena itu, yang diambil adalah solusi-solusi jangka pendek yang amat pragmatis. Sebutlah pemberian beban kerja berlebihan atau memberikan mata kuliah tidak sesuai keahlian akibat kurangnya dosen tetap.
Perihal peningkatan kualitas akademik, Dikti sebetulnya sudah berupaya mengembangkan kapasitas dosen dengan memberikan beasiswa doktoral untuk menempuh studi di luar negeri. Namun, karena permasalahan struktural tadi belum diatasi, ketika kembali ke Tanah Air para dosen ini kembali diberi beban mengajar yang berat, yang mempersulit mereka untuk berkarya.
Tidak ada peningkatan jumlah karya ilmiah sejak beasiswa tersebut tersedia karena permasalahan kurangnya sumber daya pengajar belum diatasi. Tak heran bila Indonesia tertinggal jauh dibandingkan negara-negara dalam regional yang sama (Evers, 2003). Sebagai ilustrasi, Singapura memiliki 94 jurnal internasional dan Malaysia memiliki 45 jurnal internasional, sementara Indonesia hanya memiliki 12 jurnal internasional.
Memikirkan solusi
Dengan mempertimbangkan kenyataan hambatan struktural, maka inisiatif Dikti melalui Indeks Sitasi Indonesia tidak akan membuahkan hasil signifikan. Begitu pula langkah Dikti membatasi beasiswa doktoral khusus untuk program studi yang menghasilkan publikasi di jurnal internasional. Permasalahannya, setiap program studi tidak mampu membangun lingkungan akademik yang sehat sehingga menghambat pengembangan kapasitas dosen dan penelitinya.
Oleh karena itu, jika obyektif, untuk meningkatkan kualitas penelitian dan publikasi ilmiah, yang pertama harus dilakukan bukan hanya menelurkan kebijakan dari atas, tapi juga identifikasi masalah di bawah: memahami akarnya dari realitas keseharian para pengajar.
Sebagai ilustrasi, ada satu jurnal internasional—yang tak jelas peninjau dan asal-usulnya—yang menawari dosen ”negara berkembang” memublikasi karyanya dengan biaya 1.000 dollar AS dengan mengirim surat elektronik secara serentak. Solusi laissez-faire macam ini muncul karena pihak-pihak tertentu mengidentifikasi adanya ”permintaan” yang tidak dibarengi kemampuan pihak yang terlibat untuk memenuhinya. Jika Dikti tak segera mengisi ruang vakum tersebut, kemungkinan solusi macam inilah yang akan diambil, seperti dilakukan begitu banyak sektor lain di negara kita.
Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah memberikan pelatihan kepada staf pengajar untuk membangun budaya menulis akademik. Namun, karena peneliti senior dalam negeri yang memiliki publikasi yang diakui kolega internasional amat langka, akan kurang efektif jika pelatihan tersebut dijalankan secara in-house di tiap universitas. Konsekuensinya, pelatihan ini harus melibatkan akademisi Indonesia yang juga pegawai di sejumlah institusi pendidikan di negara seperti Australia, Belanda, dan Jepang, yang memiliki basis kajian Indonesia yang kuat.
Program Scheme for Academic Mobility 2013 (SAME) yang mendanai kerja sama antara institusi pendidikan dalam dan luar negeri bisa mengakomodasi pelatihan semacam ini. Jadi, sebetulnya pelatihan bisa direalisasikan dan dana sudah dialokasikan Dikti. Masalahnya, apakah setiap pihak yang terlibat mampu secara independen berjejaring untuk jadi bagian dari solusi.
2 comments:
Tulisan yang bagus! Saya juga membaca analisis serupa dari tulisan Terry Mart (UI) & Laksana Tri Handoko (LIPI).
Saya adalah peneliti PNS di salah satu litbang kementerian dan saya bisa katakan kondisi di lingkungan litbang plat merah mungkin lebih parah. 3 tahun berlalu dari tulisan ini dipublikasikan, diskusi yang sama masih saja berlangsung dan, lagi-lagi solusi yang diwacanakan (bahkan oleh peneliti "senior") adalah pragmatisme kosong. Kadang saya berpikir, apa ini semua kesengajaan untuk mempertahankan status quo mereka? Jadi yang mempraktikkan panopticon sbgmn yang diteoresasikan Foucault bukan hanya para birokrat/pejabat struktural, tp peneliti itu sendiri. Saya cinta dunia penelitian dan saya bersyukur takdir membawa langkah kaki saya ke dunia ini, tapi sedih dan miris sekali rasanya setiap melihat rekan-rekan peneliti PNS yang baru beberapa tahun lulus S2/S3, DN/LN, yang turut mempraktikkan ultrapragmatisme yg sungguh keterlaluan. Mereka bukan hanya ikut menyusu dari sistem utk kepentingan pribadi, tapi juga turut memperkuat hegemoni sistem krn anggapan dangkal bahwa itu berkorelasi dengan kesuksesan karier mereka. Jadi ini sudah bukan masalah usia lagi, karena yang masih muda pun seperti itu. Salah satu contoh yang terjadi di kami, penerapan digitalisasi jurnal melalui OJS sudah dianggap reformasi struktural, audit culture dalam metodologi penelitian, nafsu birahi pada Big Data, dll. Uang dan immediate materials/fame benar-benar membutakan banyak orang.
Oh, and I came here after attending your interesting presentation on Diskusi Publik Rethinking Research. Thank you.
MBS.
Terima kasih share pemikiran, Mas, dan juga bersedia datang.
Ngga tau lagi mau bilang apa, "sedih dan miris" itu pas betul.
Jadi ya, apa aja yang bisa kita lakukan ya, Mas, di ruang (terbatas) yang dalam wewenang (kecil) yang kita punya. (Berusaha) jernih dan amanah.
Dalam riset, tulisan ilmiah, maupun blogpost, haha.
Cheers, Mas Muh!
Post a Comment